Kejadian pembatalan hasil pemilu presiden putaran pertama di Rumania oleh Mahkamah Konstitusi (CCR), akibat campur tangan siber berskala besar, memberikan pelajaran penting bagi negara-negara demokrasi lain, termasuk Indonesia yang juga sangat bergantung pada infrastruktur digital.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana ancaman dunia maya yang dikelola oleh negara asing telah bertransformasi menjadi alat geopolitik untuk mengintervensi sistem demokrasi.
Menurut laporan resmi dari intelijen Rumania, pemilu gagal berjalan akibat kombinasi antara serangan langsung terhadap infrastruktur digital pemilu dan penyebaran informasi menyesatkan secara masif, yang dikenal sebagai serangan hibrida.
Serangan Hibrida: Campur Tangan Terstruktur dalam Pemilu
1. Serangan Siber Sistematis pada Fasilitas Vital
Lembaga keamanan Rumania mencatat hingga 85.000 percobaan serangan pada sistem teknologi pemilu sebelum dan selama pemungutan suara.
Fokus Utama: Aksi-aksi ini bukan sekadar pengambilan data, tetapi bertujuan mengintervensi sistem penghitungan dan distribusi suara, bahkan mengacaukan sumber data yang jadi penopang keabsahan hasil pemilu.
Tanda-tanda Operasi Negara Asing: Kompleksitas dan skalanya mengindikasikan perencanaan matang yang mensyaratkan dukungan infrastruktur dan sumber daya tingkat negara, menandakan pelaku berada di bawah payung otoritas asing.
2. Disinformasi Terorganisir di Ranah Digital
Operasi Pengaruh Luar Negeri: Berdasarkan dokumen intelijen, terdapat gerakan kampanye opini yang diindikasikan berasal dari Rusia, khususnya di media sosial populer semacam TikTok dan Telegram. Mereka secara ilegal meningkatkan popularitas kandidat ultra-nasionalis pro-Moskow, Calin Georgescu, yang akhirnya menang di ronde pertama.
Dukungan Finansial Gelap: Selain arus informasi palsu, digunakan pula dana-dana asing ilegal untuk membayar influencer dan penyebaran propaganda, dengan tujuan memperkuat kampanye tersebut.
CCR menilai bahwa manipulasi di level infrastruktur siber serta penggiringan opini melalui disinformasi telah melanggar esensi keadilan dan kelegalan pemilu. Sebagai konsekuensi, Mahkamah membatalkan hasil pemilu dan menuntut pengulangan proses secara menyeluruh agar integritasnya dipulihkan.
Isyarat untuk Indonesia: Pembelajaran Perlindungan Demokrasi Digital
Rangkaian kejadian di Rumania menjadi peringatan serius untuk Indonesia, yang sebagai negara demokrasi dengan ketergantungan digital tinggi, menghadapi risiko serupa. Ancaman bukan lagi sekadar pencurian akun perorangan atau kejahatan daring, tetapi telah menjadi ancaman strategis yang dapat mengguncang sendi-sendi negara.
Risiko ancaman digital di Indonesia antara lain:
1. Merusak Legitimasi Pemilu: Apabila sistem Komisi Pemilihan Umum, situs resmi, atau jaringan IT pemilu diserang, kepercayaan publik bisa runtuh, menimbulkan keresahan politik yang tak mudah ditenangkan.
2. Mendorong Polarisasi: Penyusupan narasi provokatif oleh kekuatan asing melalui media sosial, bot, serta data dan citra palsu, mampu memperlebar jurang perbedaan di masyarakat, mengancam persatuan dan keamanan nasional.
3. Menggerus Kedaulatan Negara: Bentuk intervensi eksternal, baik secara digital maupun narasi, mengancam kemampuan Indonesia menentukan arah politik dan masa depan sendiri secara independen.
Karena itulah, pendekatan sekadar penindakan kriminal tradisional tidaklah cukup. Keterlibatan POLRI, BSSN, Komdigi, TNI dan pihak terkait lain harus diperluas ke aspek pertahanan strategis cyber secara nasional.
Penguatan sistem deteksi dini, peningkatan kemampuan pelacakan jejak digital pelaku luar negeri, serta pendidikan literasi digital terhadap masyarakat luas wajib diprioritaskan oleh pemerintah. Dengan demikian, kedaulatan demokrasi di Indonesia dapat tetap terjaga seiring perkembangan ancaman dunia maya yang makin rumit dan bernuansa geopolitik.
Sumber: Ancaman Nyata Invasi Siber: Serangan Hibrida, Disinformasi Digital, Dan Ancaman Terhadap Demokrasi Indonesia
Sumber: Ancaman Nyata Invasi Siber: Ketika Demokrasi Di Indonesia Terancam












