Berita  

Menguat Sinyal Rebutan Ketua DPR, Sekjen PDIP: Batas Kesabaran Kami Ada Untuk Itu.

FAJAR.CO.ID, JAKARTA- Tanda-tanda adanya persaingan untuk menduduki kursi Ketua DPR mulai terlihat. Hal tersebut muncul melalui isu revisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menyatakan bahwa potensi tersebut sangat bergantung pada koalisi partai di parlemen.

Jika koalisi pendukung Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka menjadi mayoritas di parlemen, kemungkinan mereka ingin merebut posisi kepemimpinan di Senayan.

Tentu saja, menurut Ujang, untuk menjadi mayoritas di parlemen, mereka harus berkoalisi dengan partai di luar pendukung pasangan 02. Seperti Partai Nasdem, PKB, dan PKS.

“Saar ini, partai pendukung 02 belum menjadi mayoritas,” jelasnya.

Aturan dalam UU MD3 saat ini mengatur bahwa ketua DPR bisa diubah menjadi peraih suara terbanyak. Namun, revisi UU MD3 pernah terjadi setelah Pemilu 2014. Koalisi pendukung Prabowo – Hatta Rajasa dengan suara mayoritasnya berhasil meraih suara dalam usulan revisi UU MD3.

“Sebelumnya, ketua DPR dari partai peraih suara terbanyak berubah menjadi sistem pemilihan,” katanya.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Ferdian Andi, menyatakan bahwa revisi UU MD3 yang bertujuan untuk persaingan merebut kursi Ketua DPR akan menjadi preseden negatif dalam pembentukan peraturan hukum.

Menurutnya, kejadian tahun 2014 sebaiknya tidak diulangi pada tahun 2024. UU harus memberikan manfaat bagi publik, bukan untuk mewadahi kepentingan parsial jangka pendek. “Jangan sampai kinerja legislasi semakin terpuruk melalui revisi UU MD3,” tambahnya.

Exit mobile version