Berita  

Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai Sengketa Pemilu Dikritik karena Lebih Memiliki Orientasi Kuantitatif

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Proses putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus sengketa pemilihan umum yang sedang berlangsung dinilai cenderung berorientasi pada jumlah suara secara kuantitatif.

Hal itu diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Budiman.

“Jika dilihat dari kasus-kasus sebelumnya, seperti Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pembahasannya bahkan jarang berfokus pada kualitas dari proses pemilihan itu sendiri,” katanya di Samarinda, Kamis, seperti dilansir dari ANTARA.

Dia menekankan bahwa dalam konteks hukum tata negara, keputusan harus didasarkan pada data dan fakta yang konkret, bukan sekadar persepsi.

“Jika kita bicara secara kuantitatif, tentu kita bicara mengenai angka. Dalam pemilu sebelumnya, selisih suara antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) memang tipis, namun Jokowi tetap keluar sebagai pemenang. Hal ini sudah diputuskan berdasarkan keunggulan selisih suara,” ujar Budiman.

Jika patokan yang digunakan adalah perbedaan suara, kata dia, maka Prabowo Gibran akan keluar sebagai pemenang.

“Keputusan hukum harus memiliki dasar data dan fakta, bukan hanya bersifat persepsi,” ungkap Budiman.

Dalam persidangan MK, terungkap adanya sejumlah kecurangan, termasuk masuknya data sebelum Pemilu dimulai.

Ia juga mengingatkan bahwa dalam setiap kontestasi politik, pendukung dari semua calon presiden seharusnya sudah siap menerima hasilnya, baik itu kalah maupun menang.

“Di mana pun, pendukung sebelum kontestasi sudah memutuskan untuk menerima hasilnya, baik itu kalah maupun menang. Jadi, keputusan yang diambil nantinya adalah mengikat,” tuturnya.