Diabetes tipe satu menjadi perhatian kesehatan publik di Indonesia, terutama pada anak-anak. Menurut Prof Aman Bhakti Pulungan, sebanyak 70 persen kasus diabetes tipe satu pada anak terlambat terdiagnosis, meningkatkan risiko komplikasi serius seperti ketoasidosis diabetik (KAD) yang berpotensi fatal. Keterlambatan diagnosis ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju yang memiliki sistem kesehatan yang lebih baik.
KAD sendiri merupakan kondisi gawat darurat akibat tingginya kadar gula darah dalam tubuh. Gejalanya termasuk muntah, sesak napas, dan penurunan kesadaran. Kendala utama dalam diagnosis dini diabetes tipe satu di Indonesia adalah kurangnya pemahaman masyarakat dan tenaga kesehatan. Banyak kasus yang awalnya disalahartikan sebagai penyakit lain seperti asma, pneumonia, atau apendisitis.
Prof Aman Bhakti Pulungan menekankan perbedaan antara diabetes tipe satu dan tipe dua, di mana diabetes tipe satu bersifat autoimun yang membuat pankreas berhenti memproduksi insulin. Hal ini menyebabkan pasien harus menjalani terapi insulin seumur hidup. Dokter umum memiliki peran penting dalam menekan keterlambatan diagnosis, dengan kemampuan mengenali KAD dan memberikan penanganan awal sebelum merujuk pasien ke rumah sakit rujukan.
Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang diabetes tipe satu, Prof Aman Bhakti Pulungan memimpin program Changing Diabetes in Children (CdiC) yang menyediakan insulin, alat pemantau gula darah, edukasi, dan pendampingan bagi anak-anak penderita diabetes tipe satu di Indonesia. Program ini bertujuan untuk menjaga kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya komplikasi serius akibat diabetes tipe satu pada anak-anak.