Pravalensi anemia pada anak usia 6-59 bulan di Indonesia mencapai 38,4 persen berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2018. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan prevalensi anemia tertinggi di Asia Tenggara. Dampak dari kekurangan zat besi tidak boleh dianggap enteng, karena bisa berpengaruh pada masa depan anak. Dokter Spesialis Anak, dr. Devie Kristiani SpA, menjelaskan bahwa zat besi sangat penting karena selain membentuk hemoglobin untuk membawa oksigen, juga berperan dalam pembentukan neurotransmitter di otak yang memengaruhi konsentrasi, daya ingat, dan semangat belajar.
Anak yang kekurangan zat besi cenderung memiliki kemampuan psikomotor yang lebih rendah, sehingga mempengaruhi prestasi belajar di sekolah. Untuk mencegah hal ini, pencegahan sejak dini sangat diperlukan, mulai dari kehamilan, pola makan yang kaya zat besi dan vitamin C, hingga pemeriksaan berkala dengan alat skrining dan monitoring asupan zat besi. Konsumsi makanan kaya zat besi seperti hati ayam, daging merah, dan ASI sangat disarankan.
Studi di Jakarta menunjukkan bahwa konsumsi susu pertumbuhan dapat melengkapi nutrisi harian anak dan memenuhi kebutuhan zat gizi penting seperti zat besi, zinc, kalsium, vitamin B12, vitamin C, dan vitamin E. Orang tua juga disarankan untuk melakukan skrining anemia pada anak yang sering sakit dan remaja putri terkait masa haid. Hindari kebiasaan makan yang kurang zat besi, seperti mengonsumsi protein hewani yang jarang, meminum teh setelah makan.
Menurut dr. Devie, penting bagi orang tua untuk memastikan anak mendapatkan nutrisi yang cukup sejak dalam kandungan hingga 1.000 hari pertama kehidupan. Jangan menunggu anak bergejala anemia, melainkan lakukan pencegahan sejak dini.