Personel kepolisian menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa di depan Mapolda Jateng, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat, 29 Agustus 2025. Unjuk rasa yang menuntut pengusutan kasus penabrakan pengemudi ojek online Affan Kurniawan oleh mobil rantis Brimob hingga tewas itu berakhir ricuh. Gelombang demonstrasi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di berbagai daerah Indonesia diwarnai dengan gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian ke massa aksi. Sekjen Himpunan Fasyankes Indonesia, dr Putro Muhammad, mengingatkan bahwa gas air mata menyimpan risiko kesehatan yang tidak bisa diabaikan, terutama bagi kelompok rentan.
Gas air mata umumnya mengandung bahan CS (o-chlorobenzylidene malononitrile) atau CN (chloroacetophenone), yang dapat memicu sejumlah gejala, mulai dari mata perih, batuk, panas di tenggorokan, hingga iritasi kulit. Pada orang dengan riwayat asma atau penyakit pernapasan, paparan intens bisa memperburuk kondisi, bahkan memicu reaksi kulit serius. Anak-anak, lansia, dan penderita gangguan paru juga lebih rentan mengalami masalah kesehatan akibat paparan gas air mata.
Untuk mencegah dampak lanjutan, masyarakat disarankan segera menjauh dari sumber paparan, membilas mata dengan air bersih mengalir tanpa mengucek, serta mandi, keramas, dan mengganti pakaian sesegera mungkin. Selain dari sisi medis, dr Putro juga menyoroti penggunaan gas air mata dari sudut pandang etika dan hukum internasional. Penggunaan gas air mata seharusnya menjadi pembelajaran penting, terutama setelah tragedi Kanjuruhan. Evaluasi kebijakan penggunaan gas air mata perlu dilakukan agar sejalan dengan prinsip keselamatan sipil dan kemanusiaan, serta membuka ruang diskusi untuk alternatif penanganan massa yang lebih aman dan manusiawi.