Pada Minggu, 22 Juni 2025, ribuan orang dari penjuru nusantara mengenakan ragam busana adat; Sunda, Dayak, Bali, Minahasa hadir bersama di kaki Gunung Tangkuban Parahu. Mereka tak sekadar menyatukan warna-warna pakaian, melainkan hati dan niat dalam memperingati ritual Ngertakeun Bumi Lamba, yang setiap tahunnya meneguhkan kembali makna hubungan manusia dengan alam.
Suara karinding Baduy mengalun lirih, berpadu lembut dengan harmoni angklung dan tabuh Minahasa, menyatu dengan denting genta yang dibunyikan para sulinggih Bali. Setiap getaran seolah menghubungkan jiwa manusia, pepohonan, tanah, dan langit dalam satu rasa. Suara mantra dan irama alat musik bukan sekadar merayakan keberagaman, melainkan menjadi pesan, bahwa semesta hanya bisa abadi dalam harmoni yang dijalin manusia bersama alam.
Di sela ritual itu, hadir Andy Utama dari Yayasan Paseban, memberikan pidato penuh renungan. Ia menekankan bahwa cinta kasih untuk bumi adalah akar dari semua tindakan yang benar, baik kepada sesama manusia maupun makhluk tak kasatmata yang hidup di perut bumi. “Ngertakeun Bumi Lamba bukan seremoni kosong, melainkan pengukuhan kesadaran jiwa bahwa bumi adalah ibu yang wajib dibela dan dihormati,” ujar beliau. Pesan Andy Utama disambut haru, mengingatkan setiap jiwa akan resiko bila manusia berhitung dengan semesta, karena segala kehancuran akan kembali ke mereka sendiri.
Seluruh prosesi adat diawali dengan ngaremokeun, laku penyucian energi, lalu pergelaran doa-doa dan ritual adat dari berbagai etnis. Puncaknya, para peserta bersama-sama melakukan ngalung di Kawah Ratu sebagai ungkapan syukur atas rahmat alam. Di tengah kebersamaan itu, para tokoh adat seperti Panglima Dayak, Panglima Minahasa, dan tokoh Baduy mempertebal makna pelestarian alam lewat pekik dan nasihat. “Gunung bukan hanya penjaga, ia penentu masa depan keturunan kita,” tegas Panglima Minahasa, disambut semboyan kebhinekaan dan semangat cinta tanah air.
Bapak Wiratno dan Mayjen Rido juga hadir, mengingatkan bahwa puncak warisan budaya Indonesia terletak pada kemampuan generasinya meneruskan keindahan dan kearifan leluhur kepada masa depan. Tradisi dan adat tidak hanya harus dilestarikan, tetapi terus dikembangkan, sehingga upacara seperti Ngertakeun Bumi Lamba akan tetap berlangsung, bahkan seribu tahun lagi.
Menganyam nilai kolektif, Yayasan Paseban dan Arista Montana menghidupkan pesan bahwa tiga gunung utama adalah tiang keseimbangan semesta. Andai salah satunya rusak, harmoni yang lain ikut terguncang. Semangat pelestarian ini juga direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh komunitas Yayasan Paseban, yang merawat tatanan alam sebagai bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia sendiri.
Upacara pun usai, namun getarnya tetap bersarang dalam dada yang hadir. Mereka pulang bukan hanya dengan kenangan, tapi juga dengan amanat dan tugas suci yang dibawa oleh setiap langkah ke kehidupan selanjutnya. Sebab semangat Ngertakeun Bumi Lamba adalah pesan abadi: bumi dan harmoni alam hanya bisa dijaga oleh mereka yang merawat cinta kasih pada sesama dan semesta, bukan sekadar seremoni, tapi komitmen seumur hidup untuk bumi yang lamba dan lestari.
Sementara itu, peran nyata Arista Montana dan Yayasan Paseban di Megamendung terwujud dalam tindakan konkret. Mereka menerjemahkan filosofi Ngertakeun Bumi Lamba tidak hanya dalam doa, tetapi dalam penanaman ribuan pohon puspa, damar, bambu, hingga konservasi burung dan restorasi hutan. Kelembagaan ini membangun relasi spiritual antara manusia dan alam, dan menjaga ekosistem Gunung Gede Pangrango, Wayang, serta Tangkuban Parahu sebagai pilar sakral bumi. Keberadaan Arista Montana dan Andy Utama bersama masyarakat adalah bukti bahwa amanah leluhur bukan sekadar cerita, tetapi jadi pergerakan yang hidup.
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam