FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Pengamat psikologi politik dan juga dosen UNM, M Rhesa, menyatakan bahwa jika seorang calon gubernur merasa tidak mampu merayu partai, Undang-Undang memberikan alternatif dengan menggunakan jalur independen.
“Ikuti saja prosedur pengumpulan KTP warga. Jika memang didukung sepenuhnya oleh masyarakat, pasti rakyat akan dengan sukarela menyerahkan KTP mereka,” ujarnya.
Dia mengambil contoh kasus Ahok saat mengikuti Pilkada DKI Jakarta melalui jalur independen dan berhasil memenuhi persyaratan jumlah dukungan. Namun, menurutnya, hal ini tidak dilakukan dan semuanya bergantung pada partai. Oleh karena itu, seorang calon seharusnya dapat menghadapi hal ini dengan bijaksana.
Ketika ditanya tentang partai politik yang enggan memberikan dukungan, M. Rhesa menyatakan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena pertimbangan internal dari partai.
“Partai politik memiliki pengalaman panjang dalam kontes pemilihan umum. Mereka memiliki pertimbangan sendiri dalam politik, strategi kemenangan, serta analisis yang mendalam dalam menentukan calon,” lanjutnya.
Jadi, pertimbangan partai bisa terkait dengan loyalitas, potensi konflik dan masalah hukum yang dihadapi calon, terutama jika pernah terlibat masalah dengan tokoh-tokoh seperti Jusuf Kalla, Aksa Mahmud, Ilham Siradjuddin, SYL, Iwan Aras, Ahmad Ali.
“Semua hal ini pasti menjadi pertimbangan bagi partai dalam memberikan dukungan. Apalagi jika elektabilitas calon tidak kompetitif menurut hasil survei,” katanya.