FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pemilu 2024 saat ini sudah mencapai tahap akhir yaitu sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow menyatakan, dari analisisnya, terdapat tiga hal utama yang perlu dievaluasi.
Pertama, regulasi yang memiliki keterbatasan dalam menangani pelanggaran, kecurangan, dan tindak pidana pemilu. Regulasi tidak efektif dalam memberikan sanksi yang dapat mencegah pelanggaran yang terjadi,” jelasnya.
Kedua, terkait kepatuhan peserta terhadap aturan, termasuk norma dan prinsip moral, serta etika. Kepatuhan peserta pemilu sangat rendah dalam Pemilu 2024. “Peserta cenderung bertindak semaunya karena mengetahui sanksi yang tidak memberikan efek jera atau bahkan tidak dapat dikenakan sanksi,” katanya.
Salah satu indikasinya adalah calon legislatif dengan suara terbanyak yang mengundurkan diri. Hal ini terjadi di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Calon legislatif untuk DPR tingkat pusat yang mundur menunjukkan adanya manipulasi yang belum terselesaikan.
“Karena tidak dapat terselesaikan atau melampaui batas, diatur internal partai. Akhirnya mengundurkan diri, meskipun memperoleh suara terbanyak. Ini tidak terjadi pada Pemilu 2019, namun baru terjadi tahun ini,” tambahnya.
Ketiga, terkait penyelenggara pemilu yang tidak berdaya, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dia menegaskan, KPU dan Bawaslu nampaknya tidak mampu melindungi diri dari campur tangan pihak eksternal, baik dari partai politik, individu, maupun pihak lain. “Mereka hanya menjalankan pemilu sesuai tahapan, namun ketika terjadi masalah, mereka tidak berdaya,” jelasnya.