Isu politik dinasti dalam pemilihan presiden 2024 semakin ramai dibicarakan. Hal ini terjadi setelah putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Narasi negatif tentang politik dinasti semakin diperparah dengan majunya Gibran sebagai cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi tentang batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Perlu diketahui bahwa MK dipimpin oleh paman Gibran, yaitu Anwar Usman.
Dalam situasi politik dinasti yang ramai dibicarakan dalam pemilihan presiden 2024, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya mencoba menggali pendapat masyarakat mengenai isu politik dinasti tersebut.
Peneliti Utama PUSAD Universitas Muhammadiyah Surabaya, Radius Setiyawan, mengungkapkan bahwa hasil survei yang dilakukan menunjukkan bahwa 33 persen pemilih muda di Jawa Timur menolak politik dinasti. Survei tersebut dilakukan pada tanggal 14-22 Oktober 2023 dengan melibatkan 1.075 responden yang tersebar secara proporsional di 38 kabupaten atau kota di Jawa Timur.
Radius menjelaskan bahwa selain 33 persen yang menolak atau tidak percaya pada politik dinasti, terdapat 26 persen responden yang percaya pada politik dinasti. Sementara itu, 41 persen responden lainnya tidak peduli. Radius juga menjelaskan bahwa politik dinasti dalam konteks demokrasi menarik untuk didiskusikan, selain politik uang. “Ada tujuh alasan yang membuat anak muda di Jawa Timur menolak politik dinasti,” ujarnya.
Alasan-alasan tersebut antara lain:
1. Sebanyak 30,6 persen masyarakat tidak percaya karena politik dinasti dianggap menghambat proses kaderisasi kepemimpinan.
2. Sebanyak 28 persen masyarakat tidak percaya karena kinerja calon pemimpin sebelumnya buruk dan tidak berdampak pada pembangunan.
3. Sebanyak 27 persen masyarakat tidak percaya karena politik dinasti menghambat fungsi check and balance antara eksekutif dan legislatif.
4. Sebanyak 25,1 persen masyarakat tidak percaya karena ada kecenderungan diskriminatif terhadap minoritas politik.
5. Sebanyak 24 persen masyarakat tidak percaya karena calon pemimpin yang memiliki kedekatan dengan calon cenderung menyalahgunakan wewenang.
6. Sebanyak 23,1 persen masyarakat tidak percaya karena politik dinasti cenderung mengarah pada otoritarianisme.
7. Sebanyak 20,5 persen masyarakat tidak percaya karena politik dinasti cenderung melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurut Radius, perdebatan mengenai politik dinasti menarik dan penting untuk pertumbuhan demokrasi karena membuat orang-orang mulai memahaminya dengan serius. “Tidak serta merta menolak politik dinasti, tetapi juga tidak serta merta menerimanya,” kata Radius. Dia juga menekankan bahwa nilai-nilai meritokrasi yang tidak mempedulikan asal usul calon pemimpin dan latar belakang keluarganya harus tetap dipegang teguh.